Indonesia merupakan salah satu negara penghasil dan pengekspor lada putih terbesar di dunia. Produksi lada putih Indonesia yang sebagian terbesar dihasilkan dari Provinsi Bangka Belitung dengan merk dagang “Muntok White Pepper”, telah dikenal sejak jaman kolonial Belanda, dengan rasa dan aroma yang khusus, yang tidak dimiliki oleh lada putih dari tempat/ wilayah lain di dunia. Muntok White Pepper dikenal sebagai salah satu lada terbaik di dunia.
Produksi lada putih Indonesia secara keseluruhan, mengalami kecenderungan yang terus menurun dari 43.500 ton (2000), 35.000 ton (2001), 41.000 ton (2002), 32.000 ton (2003), 25.000 ton (2004), 21.000 ton (2005), 20.000 ton (2006), 21.000 ton (2007), 20.000 ton (2008). Penurunan produksi lada putih yang cukup signifikan ini cukup memprihatinkan.
Sedangkan produksi Muntok White Pepper berjumlah 33.000 ton (2002), 27.000 ton (2003), 20.000 ton (2004), 16.000 ton (2005), 14.000 ton (2006), 14.000 ton (2007), 13.000 ton (2008). Export yang berasal dari Provinsi Bangka Belitung berjumlah 29.448 ton (2002), 21.199 ton (2003), 9.805 ton (2004), 11.568 ton (2005), 10.677 ton (2006), 11.000 ton (2007), 8.500 ton (2008).
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam satu dasawarsa terakhir situasi perkebunan lada kita mengalami kemunduran dari semua segi. Dari segi yang paling umum terlihat pada luas pertanaman, produksi, dan ekspor mengalami kemunduran yang sangat signifikan, apalagi dari segi inovasi hampir tidak ada kemajuan kalaupun tidak disebut kemunduran. Indonesia yang merupakan daerah tropis penghasil utama lada, situasi ini tentu sangat mengkhawatirkan, terutama bila tidak ada perhatian khusus kita akan dapat menjadi pengimpor.
Secara jelas kenyataan ini dapat terlihat di daerah-daerah pusat produksi lada. Provinsi Bangka Belitung yang sejak lama dikenal menjadi pusat produksi lada putih, kondisi sebagian besar pertanaman petani sangat memprihatinkan, pemeliharaan sangat minimum bahkan tanpa pemeliharaan.
Di Provinsi Lampung yang dikenal sebagai pusat produksi lada hitam, kondisinya tidak jauh berbeda dengan yang di Bangka Belitung. Beberapa wilayah lain yang secara tradisional menjadi daerah produsen lada yang sukses seperti Kalimantan Barat kondisinya “setali tiga uang”.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gejala tersebut, tetapi yang paling pasti adalah faktor harga komoditas yang cenderung rendah dengan gejolak yang besar sehingga tidak cukup menarik bagi petani untuk berinovasi meningkatkan produksi perkebunannya. Selain itu tanaman ini merupakan tanaman yang batangnya tidak berkayu, sukulen, dan merambat, sehingga sangat mudah terserang hama dan penyakit, terutama infeksi jamur, bakteri, serangga dan bahkan nematoda.
Untuk tanaman tahunan, hal ini merupakan masalah yang sangat pelik karena kerugian besar yang timbul dan secara teknis penyulaman tidak dapat mengejar produksi. Pada gilirannya produktivitas lada menjadi sangat rendah, tidak hanya karena produktivitas per pohon yang sangat rendah tetapi juga populasi per luasannya cepat berkurang.
Akibat dari kedua faktor tersebut banyak petani meninggalkan tanaman lada dan beralih ke tanaman lain, seperti kopi, kakao, karet dan kelapa sawit. Padahal secara crop ecologis tanaman lada lebih sesuai dibandingkan timah yang merusak lingkungan dan kelapa sawit yang menghendaki radiasi surya tinggi.
Menurut Wahyudi (1989), pada dasarnya tanaman lada masih dapat memiliki daya saing yang lebih baik dari berbagai tanaman tersebut, bila pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan lebih baik dari yang ada sekarang. Selain pengelolaan, kondisi yang sangat mendukung pengembangan lada di Bangka adalah adanya tipe iklim yang bimodal.
Adanya 2 puncak musim kemarau yaitu Januari dan April-Juni. Kemarau pendek pada bulan Januari mendorong pembentukan bunga. Selanjutnya bunga yang terbentuk, akan disempurnakan lagi perkembangan buahnya pada kemarau yang lebih panjang pada April – Juni, sehingga menaikkan produktivitas.
Sebagai cermin beberapa negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam, yang pasti menghadapi persoalan serupa, masih mampu meningkatkan kinerja, paling tidak dari produksi dan ekspor yang masih meningkat. Secara logika pasti ada yang salah dengan perkebunan kita.
Pada dasarnya upaya yang dilaksanakan bukanlah hal-hal yang sama sekali baru atau spektakuler, tetapi sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat, hanya tidak diterapkan untuk mempertahankan dan mengembangkan kinerja lada, yaitu pelaksanaan rekomendasi teknis sesuai dengan kondisi spesifik setempat dan didukung oleh kelembagaan sebagai wahana dari penerapan rekomendasi teknis.
Salam PALM
Senin, 10 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar