BUFFER ZONE atau zona penyanggah adalah suatu kawasan tepian hutan lindung yang berbatasan antara zona inti (sanctuary zone) dengan zona pemanfaatan yang dimukimi penduduk lokal. Salah satu contoh buffer zone adalah sebuah lokasi terpencil di pinggiran Kota Lubuklinggau, bernama Talang Air Malus, dengan sajian landscape alamnya yang permai berikut kearifan tradisional masyarakatnya yang masih tersisa, ternyata memiliki segudang potensi yang belum dilirik oleh banyak pihak.
Padahal, talang (dusun) yang berjarak lebih kurang 17 kilometer dari pusat Kota Lubuklinggau ini, selain potensi sumberdaya alamnya banyak yang belum tersentuh, juga potensi sumberdaya manusia yang masih kental tradisi asli lokalitanya dan terus bertahan di tengah derasnya pembangunan infrastruktur di Bumi Sebiduk Semare.
Dengan jarak lokasi yang tidak terlalu jauh dari pusat kota, mestinya dusun ini yang dapat ditempuh paling 15 menit, menjadi lebih dari 1 jam. Kondisi jalan menuju Talang Air Malus memang masih memprihatinkan, apalagi jika musim hujan. Praktis hal ini semakin mempersulit kelancaran transportasi yang juga berimbas kepada tersendatnya arus informasi dan lemahnya akselerasi peningkatan taraf perekonomian masyarakat.
Talang Air Malus merupakan daerah buffer zone dari sebuah kawasan konservasi internasional bernama Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) region Sumatera Selatan, tepatnya pada subregion Kota Lubuklinggau. Sebagai zonasi penyanggah ekologi plasma nutfah TNKS, Talang Air Malus secara langsung bersentuhan dengan kepentingan upaya pelestarian lingkungan hidup, yang tidak saja memiliki arti bagi daerah ini tetapi juga bagi dunia.
Namun sayangnya, peran ekologis zona penyanggah seperti Talang Air Malus masih dipandang sebelah mata. Terbukti, tapal batas zonasi antara zona penyanggah dengan zona inti (sanctuary zone) hampir tidak jelas lagi. Entah akibat rusak secara alamiah, ataupun sengaja di”rusak” oleh para oknum yang berkepentingan terhadap eksploitasi sumberdaya alam secara liar, seperti para penjarah hutan dan pembalak kayu (illegal logger).
Belum lagi perhatian petugas Jagawana yang entah setahun paling hanya satu kali melakukan patroli kontrol di wilayah ini. Lebih ironis lagi, dunia per-kayuan di daerah ini menjadi kaplingan upeti para serdadu yang doyan berburu “sangu” alias “angpao”. Lucunya, pernah suatu kali antar mereka hampir baku-hantam disaksikan penduduk lokal dan riak air sungai malus nan jernih, gara-gara saling “klaim” kayu.
Memang, Sungai Malus sekarang masih jernih. Masih dapat jelas dilihat dari atas permukaan air, ikan-ikan berenang di bebatuan dasar sungai. Sungai ini juga menjadi sarana transportasi praktis masyarakat untuk mengangkut hasil kebun, seperti bokar (bahan olah karet atau slab lateks), kopi, padi dan sayuran. Dengan alat angkut sederhana, yaitu rakit bambu, masyarakat juga sering mengangkut kebutuhan pokok mereka melalui sungai kecil ini.
Sungai Malus memang sungai kecil. Dengan lebar lebih kurang 20 meter, sungai ini memberi warna bagi kehidupan lokal masyarakatnya yang mayoritas petani tradisional. Namun ada terbersit kekhawatiran, seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang tidak berimbang dengan laju penambahan lapangan usaha, maka suatu saat nanti sungai ini akan berubah warna dari wajah aslinya.
Saat ini saja, sudah beberapa mobil bak (truk atau pick-up) yang hilir-mudik mengangkut batu kali dari Sungai Malus. Belum lagi, berkubik-kubik kayu sering dihanyutkan melalui sungai kecil ini. Jadilah sungai yang semula jernih, berangsur-angsur berubah warna.
Perubahan wajah sungai nan jernih tersebut dapat saja karena aktivitas warga, ataupun eksploitasi batu kali, namun dapat juga dipastikan karena hutan di wilayah hulu sungai sudah semakin berkurang. Maka, Talang Air Malus nan permai dengan sungainya nan jernih, pada saatnya nanti tidak akan permai lagi...
Salam PALM
Kamis, 06 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar