Minggu, 04 Oktober 2009

KUE PEMBANGUNAN I

Pertengahan sampai akhir tahun 2009 ini, tahun dimana bencana terjadi hampir di seantero Nusantara, dimulailah proses pelelangan kue pembangunan bernama proyek. Persis lelang kue pangantin sebagaimana tradisi resepsi pernikahan di beberapa bagian wilayah lokal daerah ini. Daerah yang subur tanahnya, juga subur praktek KKN-nya.

Seorang kawan pernah berkomentar ringan, untuk secuil kue pembangunan alias jatah proyek, maka kita harus rela berjibaku, bahkan berani malu. Korbanan berupa rupiah dipandang bukan apa-apa, karena disamping itu faktor tulang belakang alias “becking” juga diperlukan. Ditambah lagi dengan kuat tidaknya menanggung malu, karena dituding “pengusaha gurem” atau “preman pasar”.

Seorang kawan lainnya juga turut berkomentar, untuk mencicipi jatah kue pembangunan, segala cara dihalalkan. Tak peduli gagasan proyek muncul dari mana, atau ide kegiatan katakanlah datang dari komunitas marjinal alias “wong kecik”, tetap saja diperebutkan laksana durian jatuh dengan sendirinya.

Lebih konyol lagi, para pelaksana kegiatan (dulunya disebut Pimpro) yang semula “icak-icak” takut jadi pimpro tetapi jadi “kegalakan”, sengaja menafikan sebuah kronologis jatuhnya kue pembangunan di instansinya. Padahal dengan arif dan bijaksananya pemimpin daerah ini telah memberikan “warning” agar kue-kue pembangunan dibagi secara adil dan setara, berdasarkan urgensi, spesifikasi dan kredibilitas rekanan.

Tapi nyatanya, memasuki jadwal pelelangan kue pembangunan, praktek-praktek KKN-isme, premanisme bahkan barbarisme tergambar jelas di beberapa tempat pelelangan. Lebih sadis ketika lelang kue pengantin di daerah paling rawan, atau lelang ikan di pasar nelayan paling primitif. Namun itulah realitas.

Secara lateralis seorang kawan balas berkomentar, bahwa jika takut melihat kenyataan seperti itu, maka mundur saja atau berhenti menjadi pemborong. Lebih enak jadi pembohong berkedok intelektual atau jadi wartawan harian “muntaber” (muncul tanpa berita). Karena orang lebih takut dengan orang yang pura-pura pintar ketimbang yang memang benar-benar cerdas. Karena juga orang “keder” dengan wartawan, yang istilahnya kendaraan tanpa plat.

Lantas, kita masyarakat penerima pembangunan, menjadi bingung dan skeptis ketika melihat kenyataan tersebut. Bingung karena tidak punya modal kuat atau mental baja untuk turut jadi penikmat kue pembangunan. Skeptis karena sudah sangat maklum dengan yang namanya pembangunan, masyarakat hanya sebagai penonton bahkan jadi kambing, entah “kambing congek” atau “kambing hitam”.

Salam PALM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar