Selasa, 06 Oktober 2009

AMDAL I


AMDAL atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan menjadi persoalan serius ketika sebuah proyek fisik dirampungkan, dan ternyata kemudian barulah dirasakan menimbulkan dampak bagi lingkungan hayati di sekitarnya. Padahal, idealnya adalah semua proyek fisik yang beresiko menjadi polutan (sumber polusi), wajib melakukan studi AMDAL sebelum proyek tersebut dikerjakan, sedang berjalan dan setelah beberapa periode penyelesaiaan.

Ironinya, di hampir semua perkotaan di negara agraris ini, studi AMDAL menjadi sesuatu yang dianggap nihilisme alias tidak berarti sama sekali bahkan kalah greget dibandingkan setoran retribusi misalnya. Pada beberapa proyek fisik, urusan AMDAL menjadi belakangan, jika kemudian timbul masalah atau dipermasalahkan. Lebih konyol lagi, dokumen AMDAL dianggap tidak penting dan hanya pemborosan anggaran.

Mari kita lihat secara lebih logis, manakala sebuah proyek fisik yang dibiayai ratusan juta bahkan miliaran, ternyata di kemudian hari justru akan membuat hilang sebuah aset, potensi dan menimbulkan pengeluaran biaya yang lebih besar lagi.

Betapa tidak, lihat saja berbagai kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pabrik, industri dan sarana fisik lainnya, ketika kemudian menjadi sumber bencana alam dan konflik sosial. Bukankah justru akan membuat sang empunya proyek harus menyisihkan budget yang tidak terukur nilainya sebagai bentuk kompensasi?

Mari juga kita lihat bangunan-bangunan fisik dan usaha produksi di daerah ini, apakah sudah dianalisis dampak lingkungannya? Meski sekarang belum terlalu dianggap bermasalah terhadap akses lingkungan, tapi nantinya ketika daerah ini telah semakin tumbuh berkembang menjadi metropolis, apakah juga sudah difikirkan sampai sejauh itu?

Jika belum, bukankah akan lebih baik mencegah (antisipatif) daripada memperbaiki atau mereka-ulang (rekonstruksi)? Lalu bagaimana memulainya? Bisa saja dengan telaah observasi dan eksplore potensi dampak lingkungan.

Lalu kemudian, mari kita belajar, misalnya dengan Kota Metro di Lampung Tengah. Usaha tahu-tempe saja, disana sudah diwajibkan melakukan antisipasi dampak lingkungan.

Para pengusaha kecil disana, sudah mengurus dokumen AMDAL, dimulai dari UPL (Usaha Pemantauan Lingkungan) dan UKL (Usaha Kelola Lingkungan), sampai pembuatan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) walaupun bentuknya sederhana.

Harmonisasi-nya adalah, pihak pemerintah daerah mensubsidi sebagian dana untuk upaya kelola lingkungan bagi pengusaha kecil, dan pihak pengusaha sadar akan arti penting aspek lingkungan bagi keberlanjutan kehidupan usahanya.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan usaha tahu-tempe di kota kita? Bagaimana juga dengan banyaknya pool karet di sini, yang membuang limbah lansung ke Sungai Kelingi?

Pun demikian dengan hotel-hotel berbintang yang tidak peduli dengan IPAL? Lebih celaka lagi, rumah sakit dan klinik kesehatan tidak jelas dikemanakan limbah medisnya? Atau hanya sekedar kompleks perkantoran, pasar dan terminal, juga perumahan?

Salam PALM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar