Kalau saja yang berebutan kue pembangunan adalah orang banyak, seperti halnya rebutan bendera “kembang tangis” saat acara pencukuran anak, tentu tidak akan menjadi pemandangan yang membosankan. Lha ini, yang berebutan justru yang membuat kue atau pemilik kue itu sendiri. Tidak legislatif, tidak eksekutif, sama saja walau mengatasnamakan orang lain yang notabene kroninya sendiri.
Pertengahan sampai akhir tahun 2009 ini, kita tengah diuji dengan bencana alam yang melanda beberapa daerah di tanah air. Jangan berdo’a bencana juga akan datang di daerah ini. Lebih pantas lagi, jangan berbuat “takabur” alias “sok hebat” jika tidak ingin mencicipi “getirnya” kue bencana.
Membangun artinya membuat sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada, atau dari yang sudah ada dijadikan lebih berada alias lebih baik. Jika kita mau bersepakat, membangun tidak hanya sesuatu yang bernilai fisik semata. Melainkan juga sesuatu yang bersifat non fisik juga penting.
Kue pembangunan adalah idiomatikal benda fisik yang terlihat. Tetapi apa yang membuat kue itu ada, mengapa kue itu harus ada, bagaimana sampai kue itu ada, harus dideteksi dengan indikator non fisik yang bernama nalar dan apresiasi. Kesalahan kita, seringkali terjadi akibat tidak mampu menginterpretasikan wujud fisik kue pembangunan.
Contohnya saja, mengapa prioritas pembangunan lebih difokuskan kepada sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur? Jawabannya barangkali karena ketiga sektor tersebut menjadi issue paling menarik untuk diangkat. Justru issue lingkungan yang menjadi pembicaraan hangat tidak menarik untuk dilirik sama sekali.
Kesalahan interpretasinya bisa jadi lebih dikarenakan issue lingkungan akan juga menarik diangkat ketika sudah terjadi “bencana” akibat kerusakan lingkungan. Sebelum terjadinya “insident” tentu issue lingkungan sangat sumir, kabur dan maya.
Padahal persoalan lingkungan sangat erat kaitannya dengan pendidikan yang identik dengan penciptaan kelompok intelektual yang berfikir waras, sangat dekat dengan kesehatan yang bersentuhan langsung dengan lingkungan, dan sangat “urgen” dengan infrastruktur yang memiliki signifikasi kuat dengan lingkungan. Tetapi tetap saja kue pembangunan untuk sektor lingkungan menempati nomor urutan paling bawah untuk dibahas di parlemen.
Kue pembangunan memang bukanlah kue kembang tahu, yang ketika panas enak dinikmati atau ketika dingin hangat diminum. Kue pembangunan adalah kue tart “blackforest” yang lezat sampai ke detailnya. Walau cuma dapat secuil, kue pembangunan tetap menjadi primadona.
Buktinya, semua orang berminat untuk jadi pemborong kue. Kenyataannya, semua orang ramai-ramai mengurus izin pendirian “commanditeur” sebagai syarat untuk “urun-rebut” (bukan urun-rembug) kue-kue pembangunan.
Sebuah iklim kompetisi yang sehat, mestinya. Jikalau iklim kondusif tersebut sebagaimana konsep “pasar bersaing sempurna” diterapkan, maka kue pembangunan akan terasa maknanya bagi penerima kue itu sendiri, yaitu masyarakat luas. Namun jika iklim kompetisi cenderung “monopolistik”, maka kue pembangunan tetap akan dinikmati oleh segelintir orang saja. Sama halnya dengan orde lalu dari rezim yang berbeda, tidak ada “renaissance” sama sekali.
Kegagalan ekonomi kerakyatan, kata kawan kita Prof. Mubyarto, tidak lain adalah saat dimana dibiarkannya tumbuh subur praktek monopoli. Kecenderungan monopoli ada karena sarat dengan kolusi. Kolusi terjadi karena adanya kedekatan nepotis. Dan ketika fenomena kolaborasi tersebut terjadi, sangat kuat diduga telah terjadi indikasi tindak “korupsi”.
Semoga kita masih dilindungi oleh Sang Maha Pencipta dari perebutan kue pembangunan yang berbuah bencana. Dan semoga kue pembangunan benar-benar menjadi pembangun semangat kita semua untuk menjadikan daerah ini maju. Bravo Pak Wali, Bravo Pak Bupati, Bravo Pak Gubernur, Bravo Pak Presiden….!
Salam PALM
Senin, 05 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar