RUMAH SUSUN memang dibutuhkan bagi masyarakat perkotaan, walaupun realitas hidup di rumah susun sungguh ruwet dan penuh fenomena yang bagi orang kebanyakan mungkin tidak dapat diterima akal sehat. Hal ini lantaran gambaran kehidupan orang-orang di rumah susun, terlihat seperti suatu koloni lebah, atau seperti halnya hidup di sangkar burung.
Padahal mereka yang tinggal di rumah susun, adalah juga manusia biasa seperti juga manusia yang lain. Yang membedakannya adalah karena mereka tidak mampu untuk menyewa, apalagi membeli rumah yang layak seperti orang berada. Jadilah mereka tinggal bersusun di ruang-ruang bersekat dinding dan lantai rumah susun.
Melihat kehidupan di rumah susun memang unik, ruwet dan dinamis, penuh gambaran realitas hidup yang rumit. Selain keluarga, yang tinggal di rumah petak ukuran 3 x 4 meter persegi atau 4 x 5 meter persegi, juga banyak individual, atau individu yang sewaktu-waktu "tidak sendiri".
Gambaran individu seperti yang terakhir, adalah mereka yang menjadi "simpanan" orang di luar rumah susun. Bisa wanita, bisa juga laki-laki, toh kehidupan metropolitan serba mungkin walau bikin kepala pusing.
Segmentasi orang-orang yang tinggal di rumah susun juga sangat variatif. Dari yang pendidikan tinggi, sampai tidak berpendidikan. Dari orang baik-baik dan soleh, sampai manusia bejat dan penjahat. Dari manusia normal, baik fisik maupun psikis, sampai manusia abnormal.
Demikian juga pekerjaan, dari yang bekerja di perusahaan, buruh harian, supir, ojek, tukang becak, pekerja dunia malam, atau malah tidak bekerja alias pengangguran. Yang jelas, mayoritas mereka memiliki pekerjaan yang tidak tetap atau permanen.
Perempuan yang tidak bekerja di rumah susun juga cukup banyak, namun mereka masih tetap dapat bertahan hidup. Hal ini lantaran mereka menjadi "peliharaan" atau "simpanan" bos-bos yang mencari alternatif kebutuhan biologis, sembunyi dari hidup keluarga mereka yang carut-marut dan tidak harmonis.
Apapun segmentasinya, masyarakat di rumah susun adalah suatu koloni yang diciptakan oleh pembuat kebijakan perkotaan. Dengan dalih sempitnya tanah tidak sebanding dengan padatnya penduduk, sementara masih banyak masyarakat yang tinggal di tempat yang tidak layak.
Rumah susun adalah solusinya, dengan pemanfaatan lahan yang efisien mampu ditampung banyak penduduk di petak-petak rumah susun, dengan harga sewa atau harga jual yang terjangkau. Lihat saja, satu blok rumah susun berlantai empat saja, dapat menampung sampai 40 KK, atau lebih dari 100 orang.
Jika rumah susun adalah solusi untuk mengatasi persoalan rumah tempat tinggal, betul adanya. Tapi jika dalihnya adalah untuk menyediakan rumah yang layak, tidak betul adanya. Mana ada rumah yang layak, lorong tiap lantainya "jorok" dan kumuh, sama saja dengan tempat-tempat yang tidak layak huni lainnya...
Jika rumah susun dibangun sebagai alternatif tempat tinggal dengan pemanfaatan lahan yang efisien, betul adanya. Tapi jika alasannya adalah untuk menampung mereka yang selama ini tinggal di tempat yang tidak layak, tidak juga tepat. Karena yang dapat menyewa atau membeli petak rumah susun, tetap mereka yang memiliki kemampuan untuk itu, bukan mereka yang tinggal di kolong jembatan atau tempat kumuh lainnya...
Rumah susun, memang unik. Harga sewa atau beli petak di bawah lebih mahal ketimbang petak di atasnya. Tapi bagi mereka yang memang berniat "sembunyi" dari publik, justru petak atas yang menjadi incaran tempat tinggal.
Apapun dinamika kejadiannya, rumah susun tetap dapat menciptakan kesan asri jika ditata dengan baik. Dan tentu saja calon penghuninya dapat dipilah lebih selektif agar dapat menciptakan kondisi rumah susun yang lebih tertib.
Tapi, yah... Namanya rumah susun, ya seperti itulah. Tersusun atas petak-petak, kubus, tingkat, lorong dan blok, demikian juga penghuninya yang terdiri atas banyak strata sosial dari segmentasi pekerjaan "inferior" dan orang-orang "marjinal". Mau apalagi...
Salam PALM
Kamis, 03 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar