KERBAU sebagai salah satu hewan ternak yang multimanfaat, terutama bagi dunia pertanian, khususya petani di Indonesia. Pemanfaatan hewan kerbau, selain daging dan susunya, di banyak desa pertanian yang memiliki hamparan sawah, kerbau menjadi teman setia petani dalam mengolah lahan. Kemampuan kerbau dalam menarik bajak sawah, tidak diragukan lagi. Jika mengandalkan tenaga manusia, seharinya petani hanya mampu mengerjakan satu atau dua petak, sekitar seperempat hektar. Sementara jika dibantu oleh kerbau, dapat dibajak satu sampai dua hektar persegi sawah..
Kerbau telah menjadi sahabat petani, dan petani telah memposisikan kerbau sebagai hewan peliharaan bernilai lebih dari ternak. Lihat saja di sungai atau rawa pada sore hari di pedesaan, petani dan anak tani sibuk memandikan kerbau mereka setelah seharian membantu bekerja di sawah.
Simbiose antara petani dan kerbau, tidak lagi menjadi konotasi satire, bahwa kerbau adalah budak petani. Lihat saja di kandang-kandang kerbau, di bawah rumah panggung atau di samping halaman rumah petani.
Kerbau petani dapat beristirahat nyaman di kandang yang sudah tersedia pakan rumput segar. Kemudian pada malam harinya dihidupkan api unggun di dekat kandang, untuk menghangatkan dan mengusir nyamuk.
Pemanfaatan tenaga kerbau sebagai penarik bajak, menjadi simbol kerja keras tanpa pamrih, yang terkadang terpelesetkan menjadi "perbudakan". Padahal, penerapan cara budidaya pertanian, seperti pada pengolahan tanah, yang memakai tenaga ternak dan manusia, menjadi lebih ramah lingkungan daripada memakai mesin dan bahan kimia.
Pada saat membajak, tak jarang kerbau membuang kotorannya di sawah yang sedang diolah, dan tentu saja kotoran kerbau dapat menjadi sumber bahan organik penyubur tanah. Memang jumlahnya tidak "signifikan" jika acuannya pemupukan sesuai anjuran. Namun setidaknya, ketergantungan petani terhadap pupuk kimia dapat terus dikurangi, bahkan tidak sama sekali...
Penggunaan bahan kimia, pastilah akan menimbulkan dampak bagi lingkungan dan manusia itu sendiri. Apalagi jika penerapannya di lahan usahatani secara membabi-buta, lantaran promosi berlebih dari para "formulator" karena "terpaksa" mengejar target pabrik dan penjualan produk.
Bahan kimia yang digunakan dalam berusahatani, setiap aplikasinya akan meninggalkan sisa atau "residu" di lahan, tanaman dan makhluk hidup lainnya, termasuk manusia. Residu bahan kimia, seperti pupuk dan pestisida, semakin lama setiap harinya akan ter"akumulasi" menjadi senyawa beracun yang berbahaya.
Itulah di zaman sekarang, lebih banyak timbul penyakit yang menghinggapi manusia, baik jumlah maupun macam penyakitnya. Bisa jadi, dan sebagian memang karena efek bahan kimia yang beracun, yang tertinggal di balik lahan pertanian, diserap oleh akar tanaman. Atau langsung "kontak" dengan tanaman dan manusia melalui pernafasan (udara), minuman (air tercemar) dan makanan (tanaman tercemar).
Sehingga, pada masa terakhir ini, muncul keinginan untuk perubahan pola hidup, misalnya dengan pola makan manusia yang mengkonsumsi makanan dari bahan baku makanan organik, bebas bahan kimia. Lucunya, manusia "modern" lebih suka makanan (sayur dan buah) yang segar, utuh tanpa cacat, daripada yang terlihat agak rusak. Lebih lucu lagi, manusia sekarang "jijik" mengkonsumsi makanan yang terlihat agak rusak karena dimakan serangga.
Bahkan ketika mereka membayangkan bahwa sayur dan buah yang akan dikonsumsi, dipupuk dengan "kotoran ternak". Padahal, pupuk kimia pasti ada efek residu beracun, dan sementara pupuk non kimia, seperti kotoran kerbau, tidak ada efek beracun karena telah melalui proses "penguraian" di alat pencernaan ternak.
Cerita kerbau petani yang membuang kotoran di sawah yang sedang diolah, tentu menjadi salah satu contoh "simbolik" betapa kearifan lokal telah memberikan banyak pelajaran berharga tentang hidup. Bahwa alam memiliki filosofi sendiri, tentang daur kehidupan alami, tanpa rekayasa dan tidak ada efek residu berbahaya...
Salam PALM
Selasa, 08 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar