Pertanyaan dari kita orang awam barangkali, apa iya diperlukan juga studi AMDAL untuk fasilitas umum? Kan belum terlalu penting untuk sekarang ini? Kalau demikian, mari kita hitung-hitungan alias berkalkulasi dengan matematika sederhana. Misalkan saja, setiap kita setiap harinya buang air kecil. Dari air seni yang kita buang dimanapun, mengandung senyawa amoniak bercampur sulfat dan sianida.
Satu hari saja kita keluarkan ¼ liter air seni, jika dikalikan dengan lebih dari 160 ribu orang di kota ini, maka 40 ribu liter air seni tumpah satu harinya. Jika kandungan senyawa beracunnya adalah 10 % saja, maka 4 ribu liter senyawa beracun atau B3 (bahan beracun berbahaya) beredar di sekitar kita.
Alaaah… inikan terlalu didramatisir…! Bukankah senyawa beracun tersebut akan netral dengan sendirinya melalui penguapan (evaporasi) atau larut dalam air dan terurai di tanah?
Memang betul demikian. Tapi, jika tidak ada lagi tanah serapan akibat permukaan tanah telah ditutupi aspal dan semen, atau air tanah telah tercemar juga dengan zat beracun lainnya, maka mau kemana lagi larinya 4 ribu liter senyawa beracun dari air seni kita pada satu hari itu? Belum lagi 4 ribu liter pada keesokan harinya, kemudian akumulasi pada satu bulannya, bahkan satu tahunnya?
Nah, kalau sudah selesai hitung-hitungan, maka saatnya kita bersepakat bahwa studi AMDAL itu penting. Mengapa dan seberapa pentingkah? Karena kita semua setuju bahwa lingkungan yang sehat akan membuat nyaman peri kehidupan, sebaliknya bahwa lingkungan yang tidak sehat akibat pencemaran akan membuat kita selalu khawatir terhadap dampak yang sudah terbayangkan maupun yang belum.
Tidak penting seberapa “urgen” studi AMDAL diterapkan di semua lini fisik dan produksi di kota ini. Tapi yang terpenting adalah seberapa banyak yang setuju dengan pemikiran ini dan seberapa banyak “sumber polusi” yang belum di-AMDAL.
Karena jika jawabannya adalah masih sedikit yang “care” terhadap persoalan masih sedikitnya tempat-tempat “polutan” yang di-AMDAL, maka naga-naganya kita mesti menggagas “Gerakan anti buang air kecil” atau “Tolak air seni”. Hehehe… jadinya kan tidak masuk akal dan malah melanggar HAMa (Hak Azazi Mbuang air).
Salam PALM
Read More..
Rabu, 07 Oktober 2009
Selasa, 06 Oktober 2009
AMDAL I
AMDAL atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan menjadi persoalan serius ketika sebuah proyek fisik dirampungkan, dan ternyata kemudian barulah dirasakan menimbulkan dampak bagi lingkungan hayati di sekitarnya. Padahal, idealnya adalah semua proyek fisik yang beresiko menjadi polutan (sumber polusi), wajib melakukan studi AMDAL sebelum proyek tersebut dikerjakan, sedang berjalan dan setelah beberapa periode penyelesaiaan.
Ironinya, di hampir semua perkotaan di negara agraris ini, studi AMDAL menjadi sesuatu yang dianggap nihilisme alias tidak berarti sama sekali bahkan kalah greget dibandingkan setoran retribusi misalnya. Pada beberapa proyek fisik, urusan AMDAL menjadi belakangan, jika kemudian timbul masalah atau dipermasalahkan. Lebih konyol lagi, dokumen AMDAL dianggap tidak penting dan hanya pemborosan anggaran.
Mari kita lihat secara lebih logis, manakala sebuah proyek fisik yang dibiayai ratusan juta bahkan miliaran, ternyata di kemudian hari justru akan membuat hilang sebuah aset, potensi dan menimbulkan pengeluaran biaya yang lebih besar lagi.
Betapa tidak, lihat saja berbagai kasus pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pabrik, industri dan sarana fisik lainnya, ketika kemudian menjadi sumber bencana alam dan konflik sosial. Bukankah justru akan membuat sang empunya proyek harus menyisihkan budget yang tidak terukur nilainya sebagai bentuk kompensasi?
Mari juga kita lihat bangunan-bangunan fisik dan usaha produksi di daerah ini, apakah sudah dianalisis dampak lingkungannya? Meski sekarang belum terlalu dianggap bermasalah terhadap akses lingkungan, tapi nantinya ketika daerah ini telah semakin tumbuh berkembang menjadi metropolis, apakah juga sudah difikirkan sampai sejauh itu?
Jika belum, bukankah akan lebih baik mencegah (antisipatif) daripada memperbaiki atau mereka-ulang (rekonstruksi)? Lalu bagaimana memulainya? Bisa saja dengan telaah observasi dan eksplore potensi dampak lingkungan.
Lalu kemudian, mari kita belajar, misalnya dengan Kota Metro di Lampung Tengah. Usaha tahu-tempe saja, disana sudah diwajibkan melakukan antisipasi dampak lingkungan.
Para pengusaha kecil disana, sudah mengurus dokumen AMDAL, dimulai dari UPL (Usaha Pemantauan Lingkungan) dan UKL (Usaha Kelola Lingkungan), sampai pembuatan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) walaupun bentuknya sederhana.
Harmonisasi-nya adalah, pihak pemerintah daerah mensubsidi sebagian dana untuk upaya kelola lingkungan bagi pengusaha kecil, dan pihak pengusaha sadar akan arti penting aspek lingkungan bagi keberlanjutan kehidupan usahanya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan usaha tahu-tempe di kota kita? Bagaimana juga dengan banyaknya pool karet di sini, yang membuang limbah lansung ke Sungai Kelingi?
Pun demikian dengan hotel-hotel berbintang yang tidak peduli dengan IPAL? Lebih celaka lagi, rumah sakit dan klinik kesehatan tidak jelas dikemanakan limbah medisnya? Atau hanya sekedar kompleks perkantoran, pasar dan terminal, juga perumahan?
Salam PALM
Read More..
Senin, 05 Oktober 2009
KUE PEMBANGUNAN II
Kalau saja yang berebutan kue pembangunan adalah orang banyak, seperti halnya rebutan bendera “kembang tangis” saat acara pencukuran anak, tentu tidak akan menjadi pemandangan yang membosankan. Lha ini, yang berebutan justru yang membuat kue atau pemilik kue itu sendiri. Tidak legislatif, tidak eksekutif, sama saja walau mengatasnamakan orang lain yang notabene kroninya sendiri.
Pertengahan sampai akhir tahun 2009 ini, kita tengah diuji dengan bencana alam yang melanda beberapa daerah di tanah air. Jangan berdo’a bencana juga akan datang di daerah ini. Lebih pantas lagi, jangan berbuat “takabur” alias “sok hebat” jika tidak ingin mencicipi “getirnya” kue bencana.
Membangun artinya membuat sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada, atau dari yang sudah ada dijadikan lebih berada alias lebih baik. Jika kita mau bersepakat, membangun tidak hanya sesuatu yang bernilai fisik semata. Melainkan juga sesuatu yang bersifat non fisik juga penting.
Kue pembangunan adalah idiomatikal benda fisik yang terlihat. Tetapi apa yang membuat kue itu ada, mengapa kue itu harus ada, bagaimana sampai kue itu ada, harus dideteksi dengan indikator non fisik yang bernama nalar dan apresiasi. Kesalahan kita, seringkali terjadi akibat tidak mampu menginterpretasikan wujud fisik kue pembangunan.
Contohnya saja, mengapa prioritas pembangunan lebih difokuskan kepada sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur? Jawabannya barangkali karena ketiga sektor tersebut menjadi issue paling menarik untuk diangkat. Justru issue lingkungan yang menjadi pembicaraan hangat tidak menarik untuk dilirik sama sekali.
Kesalahan interpretasinya bisa jadi lebih dikarenakan issue lingkungan akan juga menarik diangkat ketika sudah terjadi “bencana” akibat kerusakan lingkungan. Sebelum terjadinya “insident” tentu issue lingkungan sangat sumir, kabur dan maya.
Padahal persoalan lingkungan sangat erat kaitannya dengan pendidikan yang identik dengan penciptaan kelompok intelektual yang berfikir waras, sangat dekat dengan kesehatan yang bersentuhan langsung dengan lingkungan, dan sangat “urgen” dengan infrastruktur yang memiliki signifikasi kuat dengan lingkungan. Tetapi tetap saja kue pembangunan untuk sektor lingkungan menempati nomor urutan paling bawah untuk dibahas di parlemen.
Kue pembangunan memang bukanlah kue kembang tahu, yang ketika panas enak dinikmati atau ketika dingin hangat diminum. Kue pembangunan adalah kue tart “blackforest” yang lezat sampai ke detailnya. Walau cuma dapat secuil, kue pembangunan tetap menjadi primadona.
Buktinya, semua orang berminat untuk jadi pemborong kue. Kenyataannya, semua orang ramai-ramai mengurus izin pendirian “commanditeur” sebagai syarat untuk “urun-rebut” (bukan urun-rembug) kue-kue pembangunan.
Sebuah iklim kompetisi yang sehat, mestinya. Jikalau iklim kondusif tersebut sebagaimana konsep “pasar bersaing sempurna” diterapkan, maka kue pembangunan akan terasa maknanya bagi penerima kue itu sendiri, yaitu masyarakat luas. Namun jika iklim kompetisi cenderung “monopolistik”, maka kue pembangunan tetap akan dinikmati oleh segelintir orang saja. Sama halnya dengan orde lalu dari rezim yang berbeda, tidak ada “renaissance” sama sekali.
Kegagalan ekonomi kerakyatan, kata kawan kita Prof. Mubyarto, tidak lain adalah saat dimana dibiarkannya tumbuh subur praktek monopoli. Kecenderungan monopoli ada karena sarat dengan kolusi. Kolusi terjadi karena adanya kedekatan nepotis. Dan ketika fenomena kolaborasi tersebut terjadi, sangat kuat diduga telah terjadi indikasi tindak “korupsi”.
Semoga kita masih dilindungi oleh Sang Maha Pencipta dari perebutan kue pembangunan yang berbuah bencana. Dan semoga kue pembangunan benar-benar menjadi pembangun semangat kita semua untuk menjadikan daerah ini maju. Bravo Pak Wali, Bravo Pak Bupati, Bravo Pak Gubernur, Bravo Pak Presiden….!
Salam PALM
Read More..
Pertengahan sampai akhir tahun 2009 ini, kita tengah diuji dengan bencana alam yang melanda beberapa daerah di tanah air. Jangan berdo’a bencana juga akan datang di daerah ini. Lebih pantas lagi, jangan berbuat “takabur” alias “sok hebat” jika tidak ingin mencicipi “getirnya” kue bencana.
Membangun artinya membuat sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada, atau dari yang sudah ada dijadikan lebih berada alias lebih baik. Jika kita mau bersepakat, membangun tidak hanya sesuatu yang bernilai fisik semata. Melainkan juga sesuatu yang bersifat non fisik juga penting.
Kue pembangunan adalah idiomatikal benda fisik yang terlihat. Tetapi apa yang membuat kue itu ada, mengapa kue itu harus ada, bagaimana sampai kue itu ada, harus dideteksi dengan indikator non fisik yang bernama nalar dan apresiasi. Kesalahan kita, seringkali terjadi akibat tidak mampu menginterpretasikan wujud fisik kue pembangunan.
Contohnya saja, mengapa prioritas pembangunan lebih difokuskan kepada sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur? Jawabannya barangkali karena ketiga sektor tersebut menjadi issue paling menarik untuk diangkat. Justru issue lingkungan yang menjadi pembicaraan hangat tidak menarik untuk dilirik sama sekali.
Kesalahan interpretasinya bisa jadi lebih dikarenakan issue lingkungan akan juga menarik diangkat ketika sudah terjadi “bencana” akibat kerusakan lingkungan. Sebelum terjadinya “insident” tentu issue lingkungan sangat sumir, kabur dan maya.
Padahal persoalan lingkungan sangat erat kaitannya dengan pendidikan yang identik dengan penciptaan kelompok intelektual yang berfikir waras, sangat dekat dengan kesehatan yang bersentuhan langsung dengan lingkungan, dan sangat “urgen” dengan infrastruktur yang memiliki signifikasi kuat dengan lingkungan. Tetapi tetap saja kue pembangunan untuk sektor lingkungan menempati nomor urutan paling bawah untuk dibahas di parlemen.
Kue pembangunan memang bukanlah kue kembang tahu, yang ketika panas enak dinikmati atau ketika dingin hangat diminum. Kue pembangunan adalah kue tart “blackforest” yang lezat sampai ke detailnya. Walau cuma dapat secuil, kue pembangunan tetap menjadi primadona.
Buktinya, semua orang berminat untuk jadi pemborong kue. Kenyataannya, semua orang ramai-ramai mengurus izin pendirian “commanditeur” sebagai syarat untuk “urun-rebut” (bukan urun-rembug) kue-kue pembangunan.
Sebuah iklim kompetisi yang sehat, mestinya. Jikalau iklim kondusif tersebut sebagaimana konsep “pasar bersaing sempurna” diterapkan, maka kue pembangunan akan terasa maknanya bagi penerima kue itu sendiri, yaitu masyarakat luas. Namun jika iklim kompetisi cenderung “monopolistik”, maka kue pembangunan tetap akan dinikmati oleh segelintir orang saja. Sama halnya dengan orde lalu dari rezim yang berbeda, tidak ada “renaissance” sama sekali.
Kegagalan ekonomi kerakyatan, kata kawan kita Prof. Mubyarto, tidak lain adalah saat dimana dibiarkannya tumbuh subur praktek monopoli. Kecenderungan monopoli ada karena sarat dengan kolusi. Kolusi terjadi karena adanya kedekatan nepotis. Dan ketika fenomena kolaborasi tersebut terjadi, sangat kuat diduga telah terjadi indikasi tindak “korupsi”.
Semoga kita masih dilindungi oleh Sang Maha Pencipta dari perebutan kue pembangunan yang berbuah bencana. Dan semoga kue pembangunan benar-benar menjadi pembangun semangat kita semua untuk menjadikan daerah ini maju. Bravo Pak Wali, Bravo Pak Bupati, Bravo Pak Gubernur, Bravo Pak Presiden….!
Salam PALM
Read More..
Minggu, 04 Oktober 2009
KUE PEMBANGUNAN I
Pertengahan sampai akhir tahun 2009 ini, tahun dimana bencana terjadi hampir di seantero Nusantara, dimulailah proses pelelangan kue pembangunan bernama proyek. Persis lelang kue pangantin sebagaimana tradisi resepsi pernikahan di beberapa bagian wilayah lokal daerah ini. Daerah yang subur tanahnya, juga subur praktek KKN-nya.
Seorang kawan pernah berkomentar ringan, untuk secuil kue pembangunan alias jatah proyek, maka kita harus rela berjibaku, bahkan berani malu. Korbanan berupa rupiah dipandang bukan apa-apa, karena disamping itu faktor tulang belakang alias “becking” juga diperlukan. Ditambah lagi dengan kuat tidaknya menanggung malu, karena dituding “pengusaha gurem” atau “preman pasar”.
Seorang kawan lainnya juga turut berkomentar, untuk mencicipi jatah kue pembangunan, segala cara dihalalkan. Tak peduli gagasan proyek muncul dari mana, atau ide kegiatan katakanlah datang dari komunitas marjinal alias “wong kecik”, tetap saja diperebutkan laksana durian jatuh dengan sendirinya.
Lebih konyol lagi, para pelaksana kegiatan (dulunya disebut Pimpro) yang semula “icak-icak” takut jadi pimpro tetapi jadi “kegalakan”, sengaja menafikan sebuah kronologis jatuhnya kue pembangunan di instansinya. Padahal dengan arif dan bijaksananya pemimpin daerah ini telah memberikan “warning” agar kue-kue pembangunan dibagi secara adil dan setara, berdasarkan urgensi, spesifikasi dan kredibilitas rekanan.
Tapi nyatanya, memasuki jadwal pelelangan kue pembangunan, praktek-praktek KKN-isme, premanisme bahkan barbarisme tergambar jelas di beberapa tempat pelelangan. Lebih sadis ketika lelang kue pengantin di daerah paling rawan, atau lelang ikan di pasar nelayan paling primitif. Namun itulah realitas.
Secara lateralis seorang kawan balas berkomentar, bahwa jika takut melihat kenyataan seperti itu, maka mundur saja atau berhenti menjadi pemborong. Lebih enak jadi pembohong berkedok intelektual atau jadi wartawan harian “muntaber” (muncul tanpa berita). Karena orang lebih takut dengan orang yang pura-pura pintar ketimbang yang memang benar-benar cerdas. Karena juga orang “keder” dengan wartawan, yang istilahnya kendaraan tanpa plat.
Lantas, kita masyarakat penerima pembangunan, menjadi bingung dan skeptis ketika melihat kenyataan tersebut. Bingung karena tidak punya modal kuat atau mental baja untuk turut jadi penikmat kue pembangunan. Skeptis karena sudah sangat maklum dengan yang namanya pembangunan, masyarakat hanya sebagai penonton bahkan jadi kambing, entah “kambing congek” atau “kambing hitam”.
Salam PALM
Read More..
Seorang kawan pernah berkomentar ringan, untuk secuil kue pembangunan alias jatah proyek, maka kita harus rela berjibaku, bahkan berani malu. Korbanan berupa rupiah dipandang bukan apa-apa, karena disamping itu faktor tulang belakang alias “becking” juga diperlukan. Ditambah lagi dengan kuat tidaknya menanggung malu, karena dituding “pengusaha gurem” atau “preman pasar”.
Seorang kawan lainnya juga turut berkomentar, untuk mencicipi jatah kue pembangunan, segala cara dihalalkan. Tak peduli gagasan proyek muncul dari mana, atau ide kegiatan katakanlah datang dari komunitas marjinal alias “wong kecik”, tetap saja diperebutkan laksana durian jatuh dengan sendirinya.
Lebih konyol lagi, para pelaksana kegiatan (dulunya disebut Pimpro) yang semula “icak-icak” takut jadi pimpro tetapi jadi “kegalakan”, sengaja menafikan sebuah kronologis jatuhnya kue pembangunan di instansinya. Padahal dengan arif dan bijaksananya pemimpin daerah ini telah memberikan “warning” agar kue-kue pembangunan dibagi secara adil dan setara, berdasarkan urgensi, spesifikasi dan kredibilitas rekanan.
Tapi nyatanya, memasuki jadwal pelelangan kue pembangunan, praktek-praktek KKN-isme, premanisme bahkan barbarisme tergambar jelas di beberapa tempat pelelangan. Lebih sadis ketika lelang kue pengantin di daerah paling rawan, atau lelang ikan di pasar nelayan paling primitif. Namun itulah realitas.
Secara lateralis seorang kawan balas berkomentar, bahwa jika takut melihat kenyataan seperti itu, maka mundur saja atau berhenti menjadi pemborong. Lebih enak jadi pembohong berkedok intelektual atau jadi wartawan harian “muntaber” (muncul tanpa berita). Karena orang lebih takut dengan orang yang pura-pura pintar ketimbang yang memang benar-benar cerdas. Karena juga orang “keder” dengan wartawan, yang istilahnya kendaraan tanpa plat.
Lantas, kita masyarakat penerima pembangunan, menjadi bingung dan skeptis ketika melihat kenyataan tersebut. Bingung karena tidak punya modal kuat atau mental baja untuk turut jadi penikmat kue pembangunan. Skeptis karena sudah sangat maklum dengan yang namanya pembangunan, masyarakat hanya sebagai penonton bahkan jadi kambing, entah “kambing congek” atau “kambing hitam”.
Salam PALM
Read More..
Sabtu, 03 Oktober 2009
LEBARAN II
Ketika hari lebaran tiba, sejak subuh udara Persada Indonesia seakan dipenuhi gema kalimat yang mengagung-agungkan asma Sang Khalik. Masjid-masjid penuh sesak, sampai halaman dan lapangan dipenuhi oleh jemaah Shalat Ied. Sungguh ironi karena pada hari-hari biasa, justru para jemaah dapat dihitung dengan jari. Pada hari lebaran, orang-orang yang tidak pernah shalat pun tampak khusyuk di tengah jemaah.
Namun, suasana khidmat, khusyuk dan syahdu pada hari lebaran tahun ini seakan sedikit lain. Hal ini barangkali sedikit banyaknya imbas dari kondisi ekonomi keluarga yang riskan akibat fluktuasi harga pasar yang melejit fantastis, melampaui ambang adaptasi dan survive rumah tangga kebanyakan rakyat Indonesia.
Lebaran tahun ini memang di tengah suasana krisis. Dampak kenaikan harga sembako, sungguh mengakibatkan penderitaan masyarakat kebanyakan menjadi kian menggunung. Sementara subsidi pemerintah kepada mereka berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai) uang senilai 100 ribu rupiah per bulan, tidak utuh diterima, disunat, diselewengkan dan dijual-belikan melalui praktek percaloan setingkat RT. Sehingga justru menambah coreng-moreng wajah Republik ini.
Namun, apakah makna lebaran di tengah krisis saat ini akan juga turut mengurangi fenomena unik dan khas menyambut datangnya perayaan hari raya, hari kemenangan umat muslim setelah bertarung melawan hawa nafsu di bulan suci Ramadhan? Jawabannya mari kita tanya kepada para pemimpin kita yang kok tega justru sibuk ngurusi kenaikan gaji dan THR…
Atau kita juga boleh bertanya kepada Sang Pencipta, dalam do’a malam gelap tatkala kita sebagai insan kamil merasa teraniaya. “Tuhan, jika Engkau memang tengah menguji kami karena Engkau pandang kami mampu menghadapinya, maka tetap akan kami hadapi juga ujian berat ini. Namun jika Engkau justru memberikan kami azab atas dosa-dosa kami dan pemimpin kami yang semakin bangga dengan dosa-dosanya, maka ampuni kami dan mereka…”
“Ampuni juga dosa para koruptor, ampuni dosa para provokator, ampuni dosa para penyebar teror, termasuk juga ampuni dosa-dosa para pengemis THR. Jikapun Engkau tidak berkenan, maka tetap ampuni kami yang tanpa sadar membiarkan hal-hal tersebut terjadi… Dan ampuni juga mereka, karena mereka tetap hamba-Mu…”
“Karena niat kami pada hari lebaran tahun ini, sama seperti lebaran tahun sebelumnya, yaitu mendapat ridho dan ampunan-Mu. Sehingga kami dapat kembali pada fitrah kami sebagai manusia biasa yang tak luput dari dosa-dosa…”
Salam PALM
Read More..
Namun, suasana khidmat, khusyuk dan syahdu pada hari lebaran tahun ini seakan sedikit lain. Hal ini barangkali sedikit banyaknya imbas dari kondisi ekonomi keluarga yang riskan akibat fluktuasi harga pasar yang melejit fantastis, melampaui ambang adaptasi dan survive rumah tangga kebanyakan rakyat Indonesia.
Lebaran tahun ini memang di tengah suasana krisis. Dampak kenaikan harga sembako, sungguh mengakibatkan penderitaan masyarakat kebanyakan menjadi kian menggunung. Sementara subsidi pemerintah kepada mereka berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai) uang senilai 100 ribu rupiah per bulan, tidak utuh diterima, disunat, diselewengkan dan dijual-belikan melalui praktek percaloan setingkat RT. Sehingga justru menambah coreng-moreng wajah Republik ini.
Namun, apakah makna lebaran di tengah krisis saat ini akan juga turut mengurangi fenomena unik dan khas menyambut datangnya perayaan hari raya, hari kemenangan umat muslim setelah bertarung melawan hawa nafsu di bulan suci Ramadhan? Jawabannya mari kita tanya kepada para pemimpin kita yang kok tega justru sibuk ngurusi kenaikan gaji dan THR…
Atau kita juga boleh bertanya kepada Sang Pencipta, dalam do’a malam gelap tatkala kita sebagai insan kamil merasa teraniaya. “Tuhan, jika Engkau memang tengah menguji kami karena Engkau pandang kami mampu menghadapinya, maka tetap akan kami hadapi juga ujian berat ini. Namun jika Engkau justru memberikan kami azab atas dosa-dosa kami dan pemimpin kami yang semakin bangga dengan dosa-dosanya, maka ampuni kami dan mereka…”
“Ampuni juga dosa para koruptor, ampuni dosa para provokator, ampuni dosa para penyebar teror, termasuk juga ampuni dosa-dosa para pengemis THR. Jikapun Engkau tidak berkenan, maka tetap ampuni kami yang tanpa sadar membiarkan hal-hal tersebut terjadi… Dan ampuni juga mereka, karena mereka tetap hamba-Mu…”
“Karena niat kami pada hari lebaran tahun ini, sama seperti lebaran tahun sebelumnya, yaitu mendapat ridho dan ampunan-Mu. Sehingga kami dapat kembali pada fitrah kami sebagai manusia biasa yang tak luput dari dosa-dosa…”
Salam PALM
Read More..
Jumat, 02 Oktober 2009
LEBARAN I
Lebaran atau perayaan hari raya Idul Fitri, barangkali agak berbeda dengan lebaran sebelumnya. Perbedaannya lebih disebabkan akibat situasi perekonomian nasional yang carut-marut. Namun demikian, hebatnya kaum muslim di negara mayoritas pemeluk Islam ini, lebaran tetap meriah dan “habis-habisan…”
Sebagai pemeluk “agama samawi” adalah sudah menjadi kewajiban sekaligus tradisi untuk merayakan hari kemenangan, yaitu hari raya setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Tidak peduli di tengah krisis multidimensi, dari krisis ekonomi sampai krisis politik. Yang terpenting adalah saatnya bersukacita pada hari lebaran.
Memang tradisi lebaran di negeri “gemah ripah loh jinawi” ini sudah menjadi pemandangan umum dan unik. Berbagai tradisi yang sinergis dengan puncak hari raya ini, khususnya di Indonesia, menghadirkan nuansa berjuta warna.
Sebut saja misalnya tradisi mudik lebaran, yang berdampak kepada hampir semua sektor riil. Mulai dari sarana-prasarana transportasi yang selalu menghadirkan problema, seperti resiko macet, naiknya ongkos, rawan kecelakaan dan kriminalitas. Sampai kepada terhentinya aktivitas produksi akibat liburnya para tenaga kerja, yang efeknya akan memacu laju inflasi kebutuhan pokok sebelum dan sesudah lebaran.
Tradisi unik lainnya adalah pemberian Tunjangan Hari Raya (THR), yang secara klasik selalu saja menyisakan persoalan. Ironisnya, tunjangan khusus tersebut mestinya diterima oleh karyawan suatu usaha, tetapi malah juga diterima oleh orang-orang yang tidak terlibat dalam usaha apapun.
Contohnya, jika sudah menjelang hari lebaran, para “oknum pengemis THR” bergentayangan di kantor instansi, toko, bahkan warung manisan. Bahkan tempat-tempat hiburan, hotel dan restoran, bahkan rumah tinggal bos-bos perusahaan tidak luput dari target operasi pengumpulan “icak-icaknyo THR”.
Mereka memakai beragam atribut dan bendera, mulai Wartawan (kebanyakan WTS alias Wartawan Tanpa Suratkabar), LSM (rata-rata LSM kategori LSMmmm alias Lembaga Sukanya Memprovokasi-menakuti-menipu-memeras-menghujat-menggurui-menyabotase-membodohi-mengemis-me… lainnya), Pejabat (biasanya pejabat kelas teri atau orang yang berlagak pejabat), sampai Orang Dekat Pimpinan (bisa ajudan kere, ngaku-ngaku famili, kawan bos atau tetangga jauh bos). Konyol-nya, orang-orang yang “diagangi” juga rela memberikan “sekedar untuk lebaran…”
Fenomena pemberian THR salah kaprah sudah terjadi sejak lama, dan terus saja berulang setiap tahunnya. Bahkan ada yang menimbulkan “gate” (skandal), seperti yang terjadi di daerah ini, dan belum terselesaikan juga…
Lebih heboh lagi, dengan dalih mau lebaran, para elit politik lokal sibuk “soan ke para pengusaha non pribumi”. Dapat oleh-oleh selusin softdrink, jadilah… Atau minta mentahnya saja, alias angpao…
Padahal ada yang lebih mulia, yang dapat dikerjakan oleh mereka orang-orang terhormat, seperti kegiatan pemberian THR bagi fakir-miskin, anak yatim-piatu dan kaum dhuafah. Toh, tidak seberapa yang dikeluarkan dibandingkan dengan rezeki yang didapat ketika duduk di singasana “jabatan basah”. Hitung-hitung mencuci harta yang “suam-suam” alias tak jelas halal-haramnya…
Tradisi unik lainnya adalah kesibukan di pusat-pusat perbelanjaan. Mulai dari kesibukan para keluarga yang memborong bahan pembuat kue, softdrink, snack, baju baru, bahkan furniture khususnya kursi baru, sampai kesibukan para supir taksi, ojek, tukang becak, kuli angkut, bahkan preman yang mengintai mangsa... Kesibukan ini semakin terasa menjelang detik-detik berakhirnya Bulan Suci Ramadhan.
Tradisi berikutnya yang juga unik adalah keceriaan di “Malam Takbiran”. Pada malam berakhirnya Ramadhan, tempat-tempat ibadah kaum muslim diramaikan dengan suara bedug bertalu-talu, mengiringi lapadz takbir yang berkumandang merdu dan syahdu. Bahkan tidak sedikit diatara kita yang meneteskan air mata, ketika mendengar gema takbir berkumandang. Entah beragam perasaan berkecamuk ketika itu, apalagi jika teringat keluarga yang jauh. Jauh terpisah jarak, atau sudah tidak bersama lagi di dunia ini…
Salam PALM
Read More..
Sebagai pemeluk “agama samawi” adalah sudah menjadi kewajiban sekaligus tradisi untuk merayakan hari kemenangan, yaitu hari raya setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Tidak peduli di tengah krisis multidimensi, dari krisis ekonomi sampai krisis politik. Yang terpenting adalah saatnya bersukacita pada hari lebaran.
Memang tradisi lebaran di negeri “gemah ripah loh jinawi” ini sudah menjadi pemandangan umum dan unik. Berbagai tradisi yang sinergis dengan puncak hari raya ini, khususnya di Indonesia, menghadirkan nuansa berjuta warna.
Sebut saja misalnya tradisi mudik lebaran, yang berdampak kepada hampir semua sektor riil. Mulai dari sarana-prasarana transportasi yang selalu menghadirkan problema, seperti resiko macet, naiknya ongkos, rawan kecelakaan dan kriminalitas. Sampai kepada terhentinya aktivitas produksi akibat liburnya para tenaga kerja, yang efeknya akan memacu laju inflasi kebutuhan pokok sebelum dan sesudah lebaran.
Tradisi unik lainnya adalah pemberian Tunjangan Hari Raya (THR), yang secara klasik selalu saja menyisakan persoalan. Ironisnya, tunjangan khusus tersebut mestinya diterima oleh karyawan suatu usaha, tetapi malah juga diterima oleh orang-orang yang tidak terlibat dalam usaha apapun.
Contohnya, jika sudah menjelang hari lebaran, para “oknum pengemis THR” bergentayangan di kantor instansi, toko, bahkan warung manisan. Bahkan tempat-tempat hiburan, hotel dan restoran, bahkan rumah tinggal bos-bos perusahaan tidak luput dari target operasi pengumpulan “icak-icaknyo THR”.
Mereka memakai beragam atribut dan bendera, mulai Wartawan (kebanyakan WTS alias Wartawan Tanpa Suratkabar), LSM (rata-rata LSM kategori LSMmmm alias Lembaga Sukanya Memprovokasi-menakuti-menipu-memeras-menghujat-menggurui-menyabotase-membodohi-mengemis-me… lainnya), Pejabat (biasanya pejabat kelas teri atau orang yang berlagak pejabat), sampai Orang Dekat Pimpinan (bisa ajudan kere, ngaku-ngaku famili, kawan bos atau tetangga jauh bos). Konyol-nya, orang-orang yang “diagangi” juga rela memberikan “sekedar untuk lebaran…”
Fenomena pemberian THR salah kaprah sudah terjadi sejak lama, dan terus saja berulang setiap tahunnya. Bahkan ada yang menimbulkan “gate” (skandal), seperti yang terjadi di daerah ini, dan belum terselesaikan juga…
Lebih heboh lagi, dengan dalih mau lebaran, para elit politik lokal sibuk “soan ke para pengusaha non pribumi”. Dapat oleh-oleh selusin softdrink, jadilah… Atau minta mentahnya saja, alias angpao…
Padahal ada yang lebih mulia, yang dapat dikerjakan oleh mereka orang-orang terhormat, seperti kegiatan pemberian THR bagi fakir-miskin, anak yatim-piatu dan kaum dhuafah. Toh, tidak seberapa yang dikeluarkan dibandingkan dengan rezeki yang didapat ketika duduk di singasana “jabatan basah”. Hitung-hitung mencuci harta yang “suam-suam” alias tak jelas halal-haramnya…
Tradisi unik lainnya adalah kesibukan di pusat-pusat perbelanjaan. Mulai dari kesibukan para keluarga yang memborong bahan pembuat kue, softdrink, snack, baju baru, bahkan furniture khususnya kursi baru, sampai kesibukan para supir taksi, ojek, tukang becak, kuli angkut, bahkan preman yang mengintai mangsa... Kesibukan ini semakin terasa menjelang detik-detik berakhirnya Bulan Suci Ramadhan.
Tradisi berikutnya yang juga unik adalah keceriaan di “Malam Takbiran”. Pada malam berakhirnya Ramadhan, tempat-tempat ibadah kaum muslim diramaikan dengan suara bedug bertalu-talu, mengiringi lapadz takbir yang berkumandang merdu dan syahdu. Bahkan tidak sedikit diatara kita yang meneteskan air mata, ketika mendengar gema takbir berkumandang. Entah beragam perasaan berkecamuk ketika itu, apalagi jika teringat keluarga yang jauh. Jauh terpisah jarak, atau sudah tidak bersama lagi di dunia ini…
Salam PALM
Read More..
Kamis, 01 Oktober 2009
BUDIDAYA BELUT IV
Perkembangan Belut
Belut berkembangbiak secara alami dialam terbuka dan dapat dibudidaya dengan perkembangbiakan normal dikolam dengan media pemeliharaan yang memenuhi persyaratan. Belut secara lami memiliki masa kawin selama musim hujan (4-5 bulan), dimalam hari dengan suhu sekitar 28° C atau lebih. Musim kawin ini ditandai dengan berkeliarannya belut jantan kepenjuru kolam, terutama ketepian dan dangkal yang akan menjadi lubang perkawinan.
Lubang berbentuk “U”dimana belut jantan akan membuat gelembung busa dipermukaan air untuk menarik perhatian betina, namun belut jantan menunggu pasangannya dikolam yang tidak berbusa. Telur-telur dikeluarkan disekitar lubang, dibawah busa dan setelah dibuahi akan dicakup pejantan untuk disemburkan dilubang persembunyian yang dijaga belut jantan.
Penetasan
Telur-telur ini akan menetas setelah 9-10 hari, tetapi dalam pendederan menetas pada hari ke 12-14. Anak-anak belut ini memiliki kulit kuning yang semakin hari akan berangsur-angsur menjadi coklat. Belut jantan akan tetap menjaga sampai belut muda berusia dua minggu atau mereka meninggalkan sarang penetasan untuk mencari makanan sendiri.
Makanan dan kebiasaan makan
Belut secara alamiah memakan segala jenis binatang kecil yang hidup atau terjatuh di air. Belut ini akan menyergap makanannya dengan membuat lubang perangkap, lubang ini menyerupai terowongan berdiameter 5 cm.
Hama belut
Belut jarang terserang penyakit yang disebabkan oleh kuman atau bakteri, namun mereka sering kekurangan pangan, kekeringan atau dimakan sesama belut dan predator lainnya, sehingga memerlukan air mengalir agar tetap sehat.
Setelah belut berkembang sesuai yang diharapkan, kita harus memperhatikan tata cara panen agar belut tidak luka dan tetap segar, baik untuk pasar lokal maupun antar daerah dan ekspor. Belut untuk pasar lokal hanya memerlukan ukuran sedang dengan umur 3-4 bulan, sedangkan ekspor perlu ukuran lebih besar dengan usia 6 – 7 bulan.
Perlakukan pasca panenpun juga harus diperhatikan, baik dalam membersihkan dan memperbaiki kolam pemeliharaan serta dilakukan penggantian media yang baru, sehingga makanan belut tidak habis bahkan semakin banyak.
Belut merupakan makanan bergizi yang layak dikonsumsi manusia, sehingga dapat dipasarkan dimanapun, baik lokal maupun ekspor dengan harga yang cukup menguntungkan.
Salam PALM
Read More..
Belut berkembangbiak secara alami dialam terbuka dan dapat dibudidaya dengan perkembangbiakan normal dikolam dengan media pemeliharaan yang memenuhi persyaratan. Belut secara lami memiliki masa kawin selama musim hujan (4-5 bulan), dimalam hari dengan suhu sekitar 28° C atau lebih. Musim kawin ini ditandai dengan berkeliarannya belut jantan kepenjuru kolam, terutama ketepian dan dangkal yang akan menjadi lubang perkawinan.
Lubang berbentuk “U”dimana belut jantan akan membuat gelembung busa dipermukaan air untuk menarik perhatian betina, namun belut jantan menunggu pasangannya dikolam yang tidak berbusa. Telur-telur dikeluarkan disekitar lubang, dibawah busa dan setelah dibuahi akan dicakup pejantan untuk disemburkan dilubang persembunyian yang dijaga belut jantan.
Penetasan
Telur-telur ini akan menetas setelah 9-10 hari, tetapi dalam pendederan menetas pada hari ke 12-14. Anak-anak belut ini memiliki kulit kuning yang semakin hari akan berangsur-angsur menjadi coklat. Belut jantan akan tetap menjaga sampai belut muda berusia dua minggu atau mereka meninggalkan sarang penetasan untuk mencari makanan sendiri.
Makanan dan kebiasaan makan
Belut secara alamiah memakan segala jenis binatang kecil yang hidup atau terjatuh di air. Belut ini akan menyergap makanannya dengan membuat lubang perangkap, lubang ini menyerupai terowongan berdiameter 5 cm.
Hama belut
Belut jarang terserang penyakit yang disebabkan oleh kuman atau bakteri, namun mereka sering kekurangan pangan, kekeringan atau dimakan sesama belut dan predator lainnya, sehingga memerlukan air mengalir agar tetap sehat.
Setelah belut berkembang sesuai yang diharapkan, kita harus memperhatikan tata cara panen agar belut tidak luka dan tetap segar, baik untuk pasar lokal maupun antar daerah dan ekspor. Belut untuk pasar lokal hanya memerlukan ukuran sedang dengan umur 3-4 bulan, sedangkan ekspor perlu ukuran lebih besar dengan usia 6 – 7 bulan.
Perlakukan pasca panenpun juga harus diperhatikan, baik dalam membersihkan dan memperbaiki kolam pemeliharaan serta dilakukan penggantian media yang baru, sehingga makanan belut tidak habis bahkan semakin banyak.
Belut merupakan makanan bergizi yang layak dikonsumsi manusia, sehingga dapat dipasarkan dimanapun, baik lokal maupun ekspor dengan harga yang cukup menguntungkan.
Salam PALM
Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)